|
Penasehat Hukum hadirkan 2 ahli di PN Tanjungpinang [foto: Expossidik.com] |
TANJUNG PINANG | EXPOSSIDIK.com - Sidang terkait penambangan bauksit antara Yon Fredy alias Anton versus Acok kembali di sidangkan dengan agenda meminta keterangan ahli di Pengadilan Negeri Tanjungpinang, Rabu (4/1)
Jacobus SH dan rekan selaku Penasehat Hukum Anton tadi pagi menghadirkan 2 orang ahli di persidangan.
Prof Dr Nindyo Pramono SH MS selaku Ahli Perdata Bisnis dan Guru Besar di Universitas Gajah Mada dalam keterangannya mengatakan surat kuasa sesuai pasal 1792 KUHPerdata bahwa pemberian kuasa adalah perjanjian yang diberikan pada orang lain.
Dimana, masa berlakunya kuasa tersebut sampai kuasa itu selesai di kerjakan sesuai pasal 1813 KUHPerdata.
"Jadi, kalau pemberian kuasa menarik kuasanya, maka kuasa tersebut berakhir," ujarnya.
Artinya, terang guru besar Gajah Mada ini, bahwa pihak pemberian kuasa bisa saja menarik kuasanya yang di kuasakan pada orang lain secara sepihak, ungkapnya.
Selain itu, terkait adanya perkara perdata yang dilanjutkan ke pidana, ahli mengungkapkan bahwa dari pemahaman teoritis pasal 81, jika ada perkara perdata dikaitkan dengan pidana pidana maka perkara pidana bisa ditangguhkan sambil menunggu putusan perdata yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Tetapi, jika dalam perkara perdata, terdakwa kalah, maka perkara pidananya bisa dilanjutkan.
Selanjutnya, menjawab pertanyaan penasehat hukum apakah direktur dari perseroan bisa dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas yang direksi lakukan dalam menjalankan kegiatan perseroan, ahli mengatakan tidak bisa.
"Itu tidak bisa, karena sesuai pasal 92, 97, 98 tentang perseroan, bahwa apa yang dilakukan direksi mewakili korporasi baik di dalam, maupun di luar perseroan. Karena perseroan adalah badan hukum, maka apa yang diputuskan direksi adalah keputusan perseroan," paparnya.
Sementara itu, terkait hak pemilik lahan dan pengekploitasian sumber daya alam yang berada di dalam tanah, dia menuturkan, pemilik tanah hanya menguasai tanah permukaan saja, sedangkan yang di gali dikuasai oleh perseroan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP).
"Intinya, pemilik tanah menguasai lahan permukaan saja, sedangkan di bawah tanah dikuasai oleh negara dan pemilik hanya bisa memanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri, seperti air digali untuk minum," bebernya.
Menurutnya, sesuai UU Minerba tahun 2009 pasal 93, bahwa izin pertambangan melekat pada yg diberikan ijin, jadi izin itu melekat pada perseroan, bukan pada orang pribadi.
"Jadi, kalau mau dikuasai, maka beli sahamnya," tegasnya.
Nur Basuki SH MHum selaku ahli pidana Universitas Erlangga dalam keterangannya mengatakan sesuai pasal 372 KUHP barang siapa sengaja melawan hukum, berpendapat bahwa barang siapa menunjukkan sifat umum yang penting dalam hal ini perbuatannya, yaitu unsurnya sengaja atau melawan hukum
Ketika di tanya Penasehat Hukum Jacobus SH terkait perkara perdata atas sengketa kepemilikan apa bisa di lanjutkan ke perkara pidana, ahli mengatakan, jika perkara perdata atas sengketa kepemilikan maka perkara pidana bisa di tunda sambil menunggu perkara perdata memiliki kekuatan tetap (Inkra).
"Bila dalam perdata dimenangkan dan Inkra, maka JPU tidak perlu lagi melanjutkan, tapi bila perdatanya kalah, maka perkara pidana bisa dilanjutkan," terangnya.
Sementara itu, terkait siapa yang berhak atas barang tambang yang berada di bawah tanah, apakah si pemilik atau pemegang IUP, dengan tegas ahli menerangkan bahwa pemilik tanah hanya menguasai lahan permukaan, sedangkan pemegang IUP berhak atas eksplorasi tambang sesuai UU Minerba.
"Jadi, kita harus membedakan pemegang hak atas tanah dengan penguasaan hasil tambang bawah tanah karena itu merupakan hak eklusif," tegasnya.
Sidang hari ini dipimpin Ketua Majelis Zulfadly SH di dampingi Acep Sopian dan Afrizal SH sebagai anggota. Sidang di tunda minggu depan dengan agenda masih ahli pertambangan yang di lanjutkan pemeriksaan terdakwa.
[Ag/sidik]