Aktivitas penimbunan Bakau di Patam lestari, Sekupang, Kota Batam. (Foto: Ist) |
Namun, setelah hampir dua bulan semenjak surat tersebut dikirimkan oleh DLH Batam, Kadis DLHK Kepri, Hendri, mengaku masih belum menerima surat apa-apa mengenai permasalahan tersebut dari DLH Kota Batam.
Hal ini diungkapkan oleh, Founder Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan kepada awak media, Jumat (30/4/2021). Kata dia, kasus penegakkan hukum reklamasi ilegal di Patam Lestari hingga saat ini masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
“Yang membuat aneh itu kemana surat itu dikirim atau expedisi apa yang digunakan hingga memakan waktu selama itu? Nyasar kah? Penyu pun mestinya bisa lebih cepat mengantar surat ini apabila betul-betul diantar," ujarnya.
Sementara itu, Soni Riyanto dari Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia memberikan tanggapannya terkait dengan klarifikasi tokoh adat masyarakat Kampung Tua Patam Lestari, Firmansyah yang membantah bahwa aktivitas perluasan lahan itu telah merusak hutan manggrove.
Soni menilai, apa yang disampaikan oleh, Firmansyah itu tidaklah menjawab pertanyaan Akar Bhumi Indonesia.
"Kami seperti sedang menanggapi dongeng sejarah Kampung Tua, Akar Bhumi Indonesia tidak mempertanyakan sisi historis, jelas kami hanya menanyakan perizinan penimbunan manggrove di area tersebut. Kita menyadari pertambahan penduduk di Batam akan menimbulkan permintaan perumahan, tapi tidak dengan cara yang tidak prosedural," ujarnya.
Kata dia, pembangunan yang berkelanjutan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk dapat memenuhi kebutuhan dengan tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya.
Karena sehubungan dengan hal tersebut negara memiliki aturan untuk memberikan kebijakan hukum berkenaan dengan proses pembangunan yang berwawaskan lingkungan.
"Kami tidak menghalangi masyarakat mendapatkan hunian yang layak, namun proses pembangunan mesti runtun dipenuhi unsur perizinannya, ini rukun membangun dibolak-balik, timbun terus dibangun dan baru izinnya menyusul. Lalu bagaimana penghitungan kerugian negara, apalagi kami menduga area timbun jauh melebihi 4 Ha area Kawasan di luar Hutan sebagaimana dikeluarkan oleh KPHL II Batam tanggal 8 Juni 2017 dengan nomor surat:007/SPT/KPHL-BTM/VI/2017," jelasnya.
Menurutnya, kasus penimbunan pesisir untuk hunian menduduki rangking tertinggi di Kota Batam, terkadang masyarakat juga terkesan sembrono dalam membeli property tanpa menanyakan pada pihak terkait yakni BPN (Badan Pertanahan Nasional) atau pun BP Batam selaku pemangku Pulau Batam.
"Harga murah menjadi penjerat masyarakat hingga tergiur membeli property tanpa fikir panjang, masalah urusan belakang. Selanjutnya kami berpesan kepada masyarakat agar hati-hati membeli property di Kota Batam," tegasnya. (Exp)