|
Rain Ketua LSM Kodat 86 |
BATAM | EXPOSSIDIK.com - Melihat proses penanganan dan peradilan kasus pidana yang melibatkan Direktur PT. Gandasari Resource, Hariadi alias Acok versus Dirut PT. Lobindo Nusa Persada, Yon Fredy alias Anton, Acok diibaratkan seperti menggali kuburnya sendiri.
Pasalnya proses kasus pidana itu bersamaan dengan kasus perdatanya, yang kemudian ikrah terlebih dahulu dengan menghukum Acok untuk membayar Rp132 miliar kepada Anton dan negara, padahal awalnya Acok yang menggugat Anton. Begitu juga kemungkinan yang akan terjadi pada akhir kasus pidananya, tidak mungkin putusan kasasi Mahkamah Agung akan bertolak belakang dengan putusan perdata yang sudah ikrah tersebut, apalagi fakta, bukti dan objek hukum yang digunakan sama.Demikian kesimpulan pernyataan Ketua Presidium LSM Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat 86), Cak Ta’in Komari, SS kepada wartawan (29/1) di Batam.
“Tidak mungkin MA akan membuat putusan yang bertolak belakang dalam kasus pidana ini dengan kasus perdatanya yang sudah ikrah. Ini konyol. Bukan hanya Acok yang seperti menggali kubur sendiri, begitu juga dengan penegak hukumnya, mau direkayasa seperti apapun putusan di tingkat pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, karena hasil finalnya Hakim Agung MA-lah yang menentukan dengan putusan kasasi nantinya," kata Cak Ta’in.
Menurut Cak Ta’in, tidak mungkin pihak Anton akan menerima begitu saja andai divonis bersalah oleh PN Tanjungpinang. Dia pasti akan banding bahkan mungkin sampai kasasi hingga kasus hukumnya ikrah.
“Inilah yang kami bilang seperti menggali kubur sendiri, bukan hanya Acok termasuk jaksa dan hakimnya," beber Tain.
Karena, terang Tain, Kasusnya sudah diperintahkan dihentikan oleh PN dan dinyatakan tidak layak oleh PT, tapi terus dipaksakan untuk dilanjutkan persidangannya.
"Daripada menimbulkan hiruk pikuk dan kebingungan pada public, sebaiknya dihentikan saja sebagaimana perintah putusan sela PN Tanjungpinang dan putusan NO PT Pekanbaru,” saran Cak Ta’in.
Kodat 86 menilai banyak ditemukan kejanggalan dalam proses hukum kasus pidana penggelapan pembelian lahan yang dituduhkan kepada Yon Fredy alias Anton, Direktur PT. Lobindo Nusa Persada.
“Kami menangkap ada rekayasa hukum dan konspirasi jahat yang menginginkan Anton terpenjara dan menjadi miskin. Ada indikasi pelapor ingin memiskinan Anton,“ ujarnya.
Cak Ta’in melanjutkan, setidaknya ada dua hal yang paling mendasar yakni proses hukum pidana itu bertabrakan dengan proses hukum perdatanya. Bahkan penegak hukum juga tidak perduli putusan ikrah kasasi dari Mahkamah Agung (MA), sehingga memunculkan indikasi kedua yakni upaya mengaburkan bahkan menghilangkan tanggung jawab membayar sebesar denda Rp132 Miliar, dimana fee kepada PT. Lobindo senilai Rp32 Miliar dan negara Rp100 Miliar.
"Fakta hukumnya diputar balik. Mestinya Anton yang melaporkan Acok atas penipuan dalam hal ini, bukan sebaliknya Anton yang dilaporkan. Kasus ini benar-benar penuh tanda tanya, instrik, dan kepentingan. Apalagi sudah ada putusan kasasi MA, artinya sudah ikrah kasus hukumnya. Penggugat dihukum diperintahkan untuk membayar sesuai tuntutan rekonvensi kepada Anton dan negara," tambahnya.
Cak Ta’in mengingatkan, hakim itu wakil Tuhan di dunia ini dan wakil negara untuk memberikan keadilan hukum positif terhadap manusia. “Jika mereka tidak amanah sebagai wakil Tuhan tersebut, yakinlah Tuhan yang akan menghukum mereka cepat atau lambat," tegasnya.
Untuk itu, lanjut Cak Ta’in, pihaknya akan melakukan upaya-upaya yang dapat dilakukan dan menjadi ranahnya LSM. “Kami akan segera mempersiapkan surat resmi kepada pihak-pihak terkait yang bisa lebih memberikan rasa keadilan, Komisi Kejaksaan, Jam Was, dan Pengawas Hakim di MA maupun Komisi Yudisial. Kita lihat sajalah bagaimana perkembangannya," pesannya mengakhiri.
[red/sidik]