![]() |
Salah seorang Nelayan sekitar tunjukkan lokasi penimbunan Mangrove di belakang Perumahan Putri Hijau, Tembesi, Sagulung, Kota Batam. (Foto: Exp) |
Aktivitas yang diduga ilegal ini tidak hanya merusak ekosistem mangrove saja. Namun, juga mengakibatkan pendangkalan alur sungai (Sendimentasi) dan berakibat pada turunnya hasil tangkapan nelayan sekitar.
Salah satu nelayan sekitar, Ridwan (42) mengatakan, beberapa nelayan sempat mendapatkan uang ganti rugi dari perusahaan yang melakukan penimbunan di kawasan tersebut. Meski tidak menyebutkan nominalnya, ia mengaku bahwa angka tersebut terbilang cukup kecil dan tidak sepenuhnya mengganti pendapatan nelayan yang berkurang akibat penimbunan tersebut.
"Karena ini ditimbun, sungai jadi dangkal dan udang yang jadi salah satu tangkapan nelayan berkurang jumlahnya," kata dia, Rabu (5/5/2021) lalu ketika dijumpai di lokasi.
Ridwan juga mengatakan, sebelum ada penimbunan, nelayan bisa mendapatkan tiga kilogram udang sekali turun ke sungai. Dalam sehari pun, nelayan bisa turun sebanyak dua kali dengan hasil tangkapan yang tidak jauh berbeda. Namun kini, kata dia, hasil tangkapan menurun drastis. Ia berkisah, hari itu ia hanya mendapatkan udang sebanyak setengah kilogram saja. Padahal ia sudah turun ke sungai sejak pukul sembilan pagi, dan naik pada pukul dua siang.
"Ini mau turun lagi ke sungai, pulang paling nanti lah jam 12 malam. Itu pun tidak tahu bakal dapat udang berapa banyak," katanya.
Ia menjelaskan, para nelayan mengaku pasrah dengan adanya penimbunan tersebut. Sebab menurutnya, nelayan hanyalah orang kecil yang tidak mungkin melawan penimbunan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. "Jadinya ya ngikut ajalah," katanya lagi.
Hal senada juga diungkapkan oleh, Amin (35), salah satu warga yang juga bekerja sebagai nelayan sekitar. Kata dia, penimbunan hutan mangrove di sana juga turut menutup aliran sungai sepanjang 30 meter. Hal itu sebenarnya sudah ia adukan bersama tujuh nelayan lainnya ke Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Batam, tetapi belum ada tindakan yang berarti.
"Kalau untuk penimbunan itu jelas kami menolak, tapi ketua kami saja diam, apalah daya kami anggota ini," ungkapnya.
Menanggapi itu, Ketua Akar Bhumi Indonesia (ABI), Hendra Tanli Wijaya, mengatakan pihaknya telah melaporkan hal ini kepada Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam (DLH) pada tanggal 10 Mei 2021, pihaknya mengirimkan surat aduan dengan No. 513/ABI-DLH BATAM/ADUAN-V/2021 agar kegiatan ini segera ditangani.
"Akar Bhumi Indonesia telah menemukan dugaan aktivitas ilegal penimbunan mangrove di Belakang
Perumahan Putri Hijau, Tembesi, Kec. Sagulung, Batam, Kepulauan Riau. Kegiatan tersebut diduga tidak berizin serta didapati melakukan penimbunan mangrove yang mengakibatkan penutupan dan
pendangkalan alur sungai (sendimentasi) serta rusaknya ekosistem. Reklamasi di area tangkapan
nelayan ini juga telah merugikan nelayan sekitar, sehingga mengakibatkan turunnya pendapatan nelayan," ujarnya kepada awak media, Kamis (20/5/2021)
Kata dia, setelah pihaknya turun mengecek lokasi tersebut, diketahui bahwa aktivitas penimbunan ini dilakukan oleh PT Yafindo Group. Dilokasi ini juga kata dia, ditemukan jalur pipa gas Panaran yang berdekatan dengan lokasi penimbunan ini dan dikhawatirkan bisa membahayakan masyarakat sekitar.
Tidak hanya itu, Hendra mengatakan, efek dari penimbunan ini juga berdampak terhadap nelayan yang berada di Tanjung Gundap, Tembesi, Sagulung, Batam yang mengeluh air laut di daerah mereka mengeruh sehingga nelayan kesulitan mencari hasil tangkapan.
"Akibat dari penimbunan ini, pihaknya juga mendapatkan laporan dari masyarakat Tanjung Gundap yang mengeluh air laut mereka tempat mencari udang, ikan, dan ketam menjadi keruh sehingga membuat masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan tersebut merugi," ungkapnya.
Kata dia, terkait penimbunan ini, pengembang proyek diduga telah melanggar Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sementara itu, apbila pihak pengembang juga tidak mengantongi izin AMDAL maka juga telah melanggar Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan hidup.
"Pihak pengembang juga kami duga telah melanggar Undang-undang pesisir No. 27 Tahun 2007 Jo Undang-undang No. 01 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengatur tentang perlindungan ekosistem mangrove di luar kawasan hutan," jelasnya.
Kata dia, pihaknya juga aktif dalam advokasi persoalan kerusakan lingkungan yang umumnya terjadi di bagian pesisir Kota Batam. Kerusakan lingkungan menurutnya ini pun seringkali berdampak pada masyarakat kecil atau nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil melaut.
"Perusakan lingkungan harus segera dihentikan. Karena (pohon) yang ditanam belum tentu tumbuh, tapi perusakan pasti mematikan ekosistem dan merugikan masyarakat," tegas Hendra. (Exp)