[caption id="attachment_469" align="alignleft" width="300"] Terdakwa Neil Richard George Bonner dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser (Foto : Albert Gintings/Sidik)[/caption]
BATAM, EKSPOSSIDIK.COM – Sidang replik JPU dalam kasus terdakwa 2 warga Negara Inggris di PN Batam (26/10) ternyata di sidangkan juga. Sebelumnya, puluhan wartawan local, nasional maupun portal online melakukan orasi atas adanya tindakan diskriminasi.
Pada sidang tersebut, JPU Bani Ginting membacakan replik yang mengatakan bahwa terdakwa Neil Richard George Bonner (32) dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser (31) terbukti bersalah karena dalam melakukan pembuatan film documenter belum mendapatkan ijin dari pihak terkait.
JPU juga menjerat kedua terdakwa sebagai sebagai pelaku utama. Sementara, Jamirah Lubis hanya sebagai penterjemah dan bukan pembuat scenario.
Selain hal diatas, kedua terdakwa juga telah menyalahi pemberian ijin tinggal, sebab ijin tinggal yang di berikan hanya untuk kegiatan pariwisata dan budaya.
Di akhir repliknya, JPU tetap pada keyakinan dan tuntutannya bahwa terdakwa bersalah.
Sementara itu, Aristo Pangaribuan selaku Penasehat Hukum Neil dan Rebecca dalam dopli mengatakan bahwa penafsiran hukum dari JPU sangat berbahaya bagi profesi jurnalis.
Menurutnya, pembelaan ini bukan semata-mata untuk kepentingan terdakwa, tapi untuk kepentingan hukum ke depan. Mengingat, penafsiran hukum JPU profesi jurnalis.
Selain itu, terang Aristo, JPU juga tidak mendefinisikan criteria apa itu film dokumenter di dalam hukum Indonesia. Akibatnya, JPU tidak bias mendefinisikan. Termasuk, tidak menguntip UU Pers sebagai acuan jurnalistik, paparnya.
“Dalam UU Pokok Pers dijelaskan bahwa kegiatan jurnalistik adalah kegiatan yang memiliki beberapa perbuatan yang berlanjut yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Unsur-unsur ini adalah akumulatif yang harus di penuhi,” tegasnya.
Aristo juga mengatakan bahwa kliennya di tugaskan oleh TV Nasional Geografik di Inggris untuk membuat film documenter di 3 negara yaitu Malaysia, Indonesia dan Singapura.
Atas dasar itu, tuntutan JPU yang mengalamatkan pada kliennya sebagai terdakwa utama adalah tidak obyektif dan terkesan Abu-abu. Termasuk, ketika JPU hanya focus pada pelanggaran ijin tinggal saja dan tidak menyangkutkan dengan profesi jurnalistik.Padahal, saksi ahli dari dewan pers telah menjelaskan unsur-unsur tersebut.
“Ini artinya, tuntutan jaksa penuntut umum itu abu-abu,” ucapnya.
Seusai mendengarkan duplik dari penasehat hukum terdakwa, Ketua Majelis Hakim, Wahyu Prasetyo Wibowo, didampingi Budiman Sitorus dan Juli Handayani selaku Hakim Anggota menunda sidang hingga seminggu ke depan. (Ag/Sidik)